Jumat, 16 Januari 2009

Kampanye

Kampanye Pengabdian Kerakyatan dalam Pembaharuan Demokrasi

Oleh: Itsnani Mardlotillah)*


Kini terdapat suatu era baru yang dicanangkan dan dilakasanakan oleh para politikus kita. Di saat percikan tuntutan mengani kegiatan penyeleksian siapakah nanti yang akan lolos sebagai keluarga besar dewan legislatif negeri besar ini. Sebagian ada yang menanggapi miring dan sisnis serta pesimis atas keputusan para pejuang suara rakyat ini namun ada yang memanndang ini sebagai salah satu proses pembelajaran demokratisasi aspek kehidupan di negeri ini.

Seakan tidak pandai menghiraukan pasal atau peraturan sebelumnya yang berniat mengatur pelaksanaan pemilihan wakil rakyat ternyata bukan menjadi kenda bagi dewan keadilan pembuat peraturan MK untuk mengasahkan sistem tersebut sebagai dasar mereka para politikus untuk melaksanakan fungsinya. Hal ini berarti bahwa tidak adalagi penghargaan proses atau mekanisme dalam partai. Yang memang adalah suatu imbas keputusasaaan para partai politik yang telah kurang mendapatkan simpati rakyat dikarekan adanya disfungsi dari partai politik itu sendiri.

Menjadi kontroversial juga ketika ketidakikutsertaan KPU sebagai lembaga pelaksanaan pemilihan umum di negeri ini dalam mengadaakan sistem suara terbayak tersebut. Sangat ironis ketika tidak terdapat komunikasi yang rapih antara elemen di panggung pemerintahan yang semestinya terjadi intreaksi yang serasi.

Terlepas dari semua kontroversial, dan aggapan miring maupun sebaliknya mengenai kebijakan ini, telah menjadihal yang telah suslit diubah dengan deadline pemilu yang semakin dekat ini. Telah diketoknya palu oleh MK berkenaan dengan peraturan pelaksanaan pemilu 2009, UU No.10 tahun 2008 menjadi alat tentunya bagi para pemain catur kekuasaan ini untuk terus berinovasi untuk terus menarik simpati rakyat untuk akhirnya tertarik untuk memilih mereka.

Namun yang menjadi pertanyaan manakah yang sebenarnya menjadi masalah berkenaan dengan momen ini? Mengapa selaku elemen catur politik ini harus terus memberikan perhatian penuh pada kejadian yang dan terjadi di waktu mendatang berkenaan dengan dikeluarkannya peraturan ini? Ini hanya salah satu pendewasaan para poitikus kita untuk tidak terus terpancang pada sistem perkoar-koaran mereka pada saat pemilu-pemilu sebelumnya. Ini berkait pada sistem sosialisasi yang perlu reparsi khusus yang harus dilaksanakan para pejuang politik kita.

Menjadi momok sendiri pula bagai para politisi yang terlanjur lama mengabdi di salah satu rumah politik mereka, namun kebijakan tersebut tidak memihak ketika banyak orang popular yang ikut menyaingi mereka sehingga nama mereka menjadi seakan tergilas oleh rival-rival mereka yang notabene merupakan amatiran dalam dunia politik, namun mereka memiliki popularitas.

Penentuan peraturan ini juga berarti kekurangan keberpihakan kebijaan pemerintah para caleg berurutan nomor kecil ini. Namun, yang harus dilakukan dan dimengerti adalah tentang indikasi akan terjadinya perubahan maneuver-manuver politik yang pesaing-pesaing, dimana mereka lancarkan diabandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya untuk lebih serius dalam menjaring suara publik.

Sudah tidak dapat dipungkiri lagi apabila kita sebagai pelaku politik, suara dukungan massa sangatlah berarti bagi kita. Tidak lagi menjadi rahasia publik saat ini pula apabila hari-hari sang pelaku politik tidak lepas dari aksi pengalangan suara untuk mengusungnya kepada singgasana yang meraka inginkan.

Bukan hal yang negatif pula apabila kita sebagai pemain dalam permainan politik negari ini melakukan tersebut. Karena hanya penncapaian kesejahteraan dan masa depan yang cerah yang akhirnya menjadi tujuan yang paling akhir dari semua perjuangan ini. Bukan hal yang bijak pula apabila kita apatis dari semua perhatian atas perilaku mereka.

Yang menjadi masalah adalah bagaimanakah apa sikap seharusnya dilakukan sebagai penjaring suara untuk para pengejar kekuasaan. Sebagai salah satu biaya mahal yang harus diabayar oleh para politikus kita adalah inovasi sistem kampanye. Bukan hal yang sulit apabila kita tidak selalu menjadi orang yang tidak pernah untuk mencoba meremukan sesuatu hal yang baru.

Ketakutan Temporal

Sayangnya, yang menjadi imbas dari peraturan ini adalah keputusasaan sebagai politikus yang tidak pernah memperoleh dukungan dari rakyatnya sendiri. Keputusasaan tersirat pada tuntutan para politikus yang berkeinginan untuk menduduki kursi legislatif dan ikut bersaing dengan para kandidat lain yang notabene kurang memiliki kompetensi dalam bidang politik kerakyatan yang namun mereka cukup populer, untuk dipertimbangkannya lagi keputusan MK tersebut.

Ketakutan tersebut bukan hal yang aneh ketika sebuah peraturan yang amat kontroversial ini dikeluarkan di waktu yang amat mepet dengan pergantian imperium kekuasaaan. Namun, ketakutan tersebut seharusnya disikapi dengan dewasa oleh para politikus kawakan kita. Bagaimanapun mereka, dilihat dari pengabdiannya kepada partai politik telah menjadi sesuatu yang layak apabila parpol menyediakan keleluasaannya dalam pertarungan di kancah calon wakil rakyat tersebut.

Menjadi kontraprestasi semestinya dari parpol untuk para kader kawakan mereka untuk mencicipi kursi wakil rakyat di senayan yang amat di perebutkan itu. Janji manis memang yang kadang menjadi ketakutan rakyat akan terulangnya kebobrokan pemerintah masa lalu merihat citra para politkus yang amat buruk di mata masyarakat.

Politikus instan yang bertebaran di setiap kolom berbagai macam partai politik sebenarnya hanyalah euforia jenis baru dalam menaggapi suhu politik nusantara yang kian memanas. Termasuk pembelajaran bagi bangsa pula ketika kita selaku rakyat sekaligus ladang suara pemilu untuk melihat perbedaan di setiap calon. Minimal, sebagai golongan yang berani terjun langsung di pertarungan perpolitikan negeri ini, menjadi pembelajaran tentunya kepada mereka sebagai amatiran dalam kancah perpolitikan.

Ternyata permasalahan tidak berhenti pada satu titik itu saja. Di sisi lain ketakutan ini bukan berarti tidak beralasan ketika alasan tersebut beralih pada jadinya para calon wakil rakyat yang kurang memiliki kompetensi di bidangnya, dan menjadikan lahan yang nantinya mereka peroleh sebagai lahan belajar dan lahan pengerukan rupiah. Menjadi logisnya prediksi tersebut, bila kita melihat dihiasinya massa pemilih pemilihan umum yang notabene meruapakan massa mengambang dan tidak pernah berinteraksi langsung dengan partai kecuali apabila pemilu tiba.

Namun, alih-alih dalih tersebut dapat menjadi alat para politikus kawakan untuk terus memberikan kehawatiran di tengah masyarakat, padahal tidak semua para kawakan politik tersebut menggunakan kompetensinya pada nilai yang lebih positif. Perlu dikritisisasi pula oleh parpol sehubungan penurunan kepercayaan rakyat pada parpol sebagai penyalur aspirasi kerakyatan. Serta perlu pengambilan sikap yang serius pada manuver-manuver politik mereka dan bagaimanakah sikap mereka pada rakyat yang tidak lagi percaya pada meeka sebagai tenaga ahli.

Kampanye Pengabdian

Kini, masyarakat telah jenuh melihat permasalahan negara yang tidak kunjung habis walaupun dipengang oleh para ahli. Ini menjadi dasar mereka para pemilih untuk tidak memilih para ahli pada pemilu. Perlu ada keseriusan mereka para pemain politik yang telah lama merasakan manis getirnya kancah perpolitikan negara ini, untuk menunjukan ketulusan mereka untuk menjalankan fungsi mereka saat mereka terpelih nanti. Tidak lagi meliahat kursi kekuasaan sebagai ladang rupiah tanpa menghargai tuntutan yang dibebankan kepada mereka sebagai orang terpilih.

Pengabdian kerakyatan sebagai manuver mereka para calon wakil rakyat adalah dipandang menjadi mesin politik yang efektif saat ini. Hal ini dikarenakan rakyat telah bosan dengan orasi politik para bakal calon wakil rakyat namun tidak ada langkah nyata untuk mewujudkan hal tersebut.

Pengabdian masyarakat yang lebih ditekankan dalam setiap strategi politik dapat menjadi alternatif para bakal calon untuk menampilkan keseriusan pencalonan mereka. Upaya pendekatan kerakyatan pula yang lebih membekas di tengah masyarakat. Karena rakyat kita telah haus para pemimpin atau wakil rakyat negara yang menghargai mereka lebih dari sebagai obyek kekuasaan mereka namun lebih sebagai mitra kerja.

Perlu adanya transformasi teknik kampanye yang lebih mendekatkan bakal calon dengan rakyat dengan beragam aspek pelayanan kerakyatan seperti kesehatan, ekonomi, maupun sosialisasi. Terdapat banyak lahan bagai mereka para bakal untuk lebih melihat lebih dekat mengenai penderitaan rakyat untuk pertimabangan mereka dalam menentukan kebijakan di masa saat mereka memperoleh kepercayaan rakyat.

Bukan hal yang sangat muluk-muluk karena selalu ada waktu untuk dekat dengan rakyat apabila terdapat kesungguhan para bakal calon wakil rakyat dalam pencalonan mereka sebagai pengayom mereka. Tidak berupa janji saja yang dilontarkan, tanpa ada langkah pasti. Karena melihat kritisnya keadaan rakyat, bukan hal yang bijak pula ketika kita menekankan hanya pada pemaksaaan pemilih untuk memilih calon janya dengan barang pelicin yang yang sering kita sebut dengan uang.

)* Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Publik Angkatan 2007 FISIP-Undip

Anggota Administrator Muda Indonesia

Tidak ada komentar: