Jumat, 17 Desember 2010

KKN Undip

DATA DIRI PESERTA
TIM I KKN PPM UNDIP 2010 / 2011
KECAMATAN WONOSALAM KABUPATEN DEMAK

NAMA LENGKAP :
NAMA PANGGILAN :
NIM :
FAKULTAS :
JURUSAN / PROGRAM STUDI :
BIDANG KEAHLIAN :
IPK :
TEMPAT TANGGAL LAHIR :
JENIS KELAMIN :
AGAMA :
ALAMAT RUMAH :

ALAMAT KOS :

NO. HP :
EMAIL :
STATUS :
KEWARGANEGARAAN :
PEKERJAAN :
TINGGI BADAN :
BERAT BADAN :
RIWAYAT PENYAKIT :

SEMARANG, 22 – 12 – 2010
PESERTA KKN PPM UNDIP


.................................................
NIM. L2G 007 013

Senin, 14 Juni 2010

Pesisir

Kearifan Nelayan Maluku Harus Muncul!
Senin, 14 Juni 2010 | 23:14 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com--Indonesia harus membuat Sail Banda sebagai ajang promosi kearifan para nelayan Maluku dalam menjaga sumber daya ikan dan lingkungan laut.
"Pada tataran lokal, ajang tahunan tersebut juga harus dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mempromosikan kearifan tradisional nelayan-nelayan Maluku," kata Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Riza Damanik, di Jakarta, Senin.
Dalam kaitannya dengan isu pangan, menurut dia, perhatian pemerintah atas pulau-pulau sebagai penghasil sumber daya ikan menjadi penting.
Pemerintah, lanjutnya, melalui ajang Sail Banda patut memberikan penekanan pada kemandirian dan kedaulatan pangan berbasis desa atau kampung. Tidak lagi berbasis korporasi seperti yang terjadi saat ini.
Ia mencontohkan kebijakan buruk yang diambil pemerintah dan membahayakan keberadaan pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau, di mana untuk memenuhi kebutuhan minyak sawit di pasar dunia misalnya puluhan pulau-pulau kecil praktis di konversi menjadi industri perkebunan sawit.
Akhirnya pulau-pulau terancam musnah, dan tidak lagi memiliki kecukupan air tawar untuk memenuhi warga pulau, ujar dia.
Nelayan Maluku, menurut Riza, adalah contoh handal dan arifnya nelayan Indonesia dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan dan lingkungannya.
"Praktek lestari ini pula yang kita percaya menjauhkan dampak buruk krisis iklim dan pangan dari warga Maluku dan Indonesia secara keseluruhan," katanya.
Namun demikian, perlu dukungan pemerintah dalam melindunginya. Agar pemerintah tidak blunder dan mendua, perlu kiranya segera membenahi regulasi yang dipandang tidak mendukung perlindungan terhadap hak-hak nelayan lokal dan masyarakat adat serta membatalkan rencana investasi di pulau-pulau kecil.
Lebih lanjut, menurut dia, ajang Sail Banda sendiri harus digunakan sebagai momen yang pas untuk meraih kesempatan ekonomis, dengan tetap mengedepankan kedaulatan budaya dan pengetahuan lokalnya.
Dengan demikian, Indonesia tidak saja menjadi tuan rumah yang baik, tapi peta jalan diplomasi perubahan iklim dan pangan yang digagas Indonesia pada level internasional, dapat selaras dengan agenda lokal dan nasional.
Dalam pelaksanaan Sail Indonesia yang kali ini berpusat di Banda Naera, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono direncanakan akan mencanangkan Maluku sebagai lumbung ikan nasional.
Maluku akan dijadikan lumbung hidup bagi ketersediaan pangan Indonesia maupun dunia. Sehingga akan ada upaya penangkapan lestari demi menjaga ketersediaan sumber daya ikan di kawasan tersebut.

Sumber:
http://oase.kompas.com/read/2010/06/14/23140527/Kearifan.Nelayan.Maluku.Harus.Muncul.

Minggu, 07 Maret 2010

Mengutamakan Keadilan

Oleh: Itsnani Mardlotillah)*


Bola panas century terus bergulir di DPR yang siap menggilas sipa saja yang ada. Bola panas itu bisa bisa saja menggilas berbagai simbol negara karena skandal ini melibatkan mereka yang menjabat posisi vital di negeri ini.

Skandal bank milik Robert Tantular ini, mau tidak mau akan memakan korban. Dan menjadi keputusan pahit bagi SBY karena semua nama yang disebutkan fraksi-fraksi dalam pansus century, menuju pada pemakzulan atau pencopotan jabatan kaki tangannya di pemerintahan seperti Wapres Boediono, dan Menkeu Sri Mulyani.

Tarik menarik kepentingan parpol begitu terasa di ruang Pansus tiap kali sidang diadakan untuk memperoleh keterangan aktor-aktor yang bertanggung jawab atas kebijakan bail out bagi Bank Century sebesar Rp 6,7 Triliun. Sikap dan pertanyaan yang mereka tujukan kepada para saksi yang dihadirkan dalam pengusutan kasus ini kurang lebih membentuk citra pansus di mata masyarakat.

Koalisi yang melibatkan banyak parpol yang diprakarsai oleh partai Demokrat bisa jadi dapat menjadi momok SBY pada saat ini. Kabinet pelangi yang diciptakan melalui koalisi kebangsaan tersebut terancam kestabilannya dengan arus Century yang menyeret berbagai tokoh penting dalam kabinet SBY.

Sudah saatnya parpol membedakan mana urusan hukum dan mana urusan politik, walaupun hubungan keduanya amat dekat. Semua berhak berpendapat tanpa ada maksud membesar-besarkan atau bahkan mengkerdilkan salah satu pihak demi tegaknya keadilan di negeri ini. Koalisi parpol bukan seharusnya membungkam mulut parpol kecil mitra koalisi.

Bagaimana persoalan century tidak seharusnya ditanggapi sebagai sinyal perpecahan koalisi. Peselisihan dalam pansus century yang kemudian ditanggapi dengan isu resafel Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua justru akan menyiratkan gejala ketidakdewasaan Demokrat dan SBY sehingga puggawa utama koalisi kebangsaan tersebut.

Diantara sembilan fraksi di pansus century hanya Golkar, PKS, Hanura, dan PDIP saja uang berani mengungkapkan nama-nama yang bermasalah dengan gamblang yang di antaranya Wapres Boediono, dan Menkeu Sri Mulyani. Sedangkan partai mitra koalisi lainnya seperti PPP, PAN, dan Gerindra tidak memberikan kejelasan siapa saja yang bertanggung jawab. Seperti takut dengan sesuatu mereka hanya menyebutkan nama instansi, inisial, jabatan, atau instansi yang bertanggung jawab. Kejadian seperti itu membuat peluang diusutnya kasus century di ranah hukum pun semakin abu-abu karena transaksi politik masih berperan besar dalam keputusan final pansus century.

Fraksi yang tidak mantap dalam mentukan sikap pun sangat disayangkan. Karena bagaimanapun sikap mereka yang tidak kooperatif semakin membingungkan publik dan membuat nasabah century semakin ketar-ketir akan kembalinya hak mereka yang telah terenggut century.

Keadilan

Bagaimanapun harapan rakyat untuk kasus century harus diusut sampai ke akar-akarnya. Pihak-pihak yang bertanggung jawab dikeluarkannya dana talangan Rp 6,7 Triliun kepada Bank Century harus segera diadili. Karena dengan uang tersebut telah membuat banyak hal seluruh nasabah Century menjadi terkatung-katung.

Ironisnya, DPR masih begitu canggung dengan isu pencopotan jabatan atau yang dikenal dengan pemakzulan. Jikalau itu satu-satunya solusi untuk menegakkan keadilan, mengapa tidak? Isu tersebut selalu berbenturan dengan kepentingan koalisi parpol. Sedangkan lebih dari 50 persen fraksi DPR adalah milik parpol koalisi kebangsaan yang diprakarsai oleh SBY.

Menyoal rencana pemakzulan, sebenarnya dapat diletakkan sebagai solusi. Karena niat baik pemakzulan diperuntukan bagi pembersihan pemerintahan dari cacat. Namun, sayangnya sudah ditanggapi sinis oleh SBY dengan dalih sulit melepaskan Sri Mulyani dan Boediono dan tidak adaya dasar hukum yang mengatur mengenai pemakzulan.

Fraksi PKB yang semakin merapat dengan Demokrat mengiasai 31,4 persen kusi DPR membuat rencana pemakzuan pejabat negara bermasalah diragukan terealisasi. Ditambah lagi sikap fraksi PPP, Gerindra, dan PAN yang belum menentukan sikap yang jelas. Sedangkan gabungan antara fraksi Golkar, PKS, Hanura, dan PDIP hanya mencapai 48, 93 peren porsi kursi DPR.

)* Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Publik

FISIP Undip


-->dipublikasikan di Harian Sore WAWASAN pada dari Selasa tanggal 02 Maret 2010




Rabu, 03 Februari 2010

ujuk rasa mahasiswa

Romantically Trapped! Relevankah?

Oleh: Itsnani Mardlotillah)*


berjuta kali turun aksi bagiku suatu langkah pasti” adalah penggalan bait lagu berjudul 'buruh tani' yang selalu didengungkan mahasiswa saat mereka sedang melakukan demonstrasi. Namun “langkah pasti” yang ada di kalimat tersebut yang mengandung pilihan yang bertanggung jawab kini dipertanyakan. Kini aksi yang dilakukan mahasiswa tidak lebih dari demontrasi dengan tujuan dan arah yang semakin memburam.

'Langkah pasti' seorang mahasiswa dalam memberikan suatu yang berfaedah bagi masyarakat adalah bentuk kontribusi sosial yang diharapkan masyarakat. Peliknya permasalahan masyarakat yang dihadapi bangsa ini sudah menjadi alasan yang cukup menanggapi pendapat tersebut.

Mahasiswa merupakan kelompok yang akrab dengan julukan 'inteletual muda'. Yaitu mereka yang selalu aktif dalam memngembangkan daya intelektual mereka dengan melakukan kontribusi positif terhadap masyarakat, lingkungannya, maupun ilmunya. Dan kesemuanya itu tertuang dalam tridarma perguran tinggi, yaitu panduan yang tidak dapat diabaikan oleh seluruh elemen dalam penyelenggaraan pendidikan di lingkungan kampus. Sedangakan mahasiswa sebagai salah satu roda penggerak pendidikan dalam level ini banyak mendapatkan sorotan terhadap kontribusi yang akan atau suadah mereka berikan terhadap bangsa ini.

Di berbagai negara termasuk Indonesia, mahasiswa atau kaum terpelajar selalu ambil bagaian dari sejarah bangsanya. Di Iran, para pelajar dan mahasiswa di sana dapat menggulingkan rezim pra Ahmadinajat, sedangakn di negeri sendiri mahasiswa pernah menjadi sorotan pasca penggulingan rezim orde baru yang berkuasa dalam tempo lebih dari 30 tahun. Ini menjadi bukti kekuatan mahasiswa denagn kempuan intelektualnya telah menjadi kelompok oposisi sekaligus penekan pemerintahan yang terbesar yang perlu diwaspadai pergerakannya.

Sedangkan unjuk rasa atau sering dikenal dengan demonstrasi memang merupakan salah satu bentuk pergerakan yang sangat kentara dan amat dekat dengan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya aksi inilah yang membentuk pandangan masyarakat terhadap mahasiswa masa kini maupun masa sebelumnya. Pandangan tersebut tidak sedikit menyebutkan bahwa mahsiswa kini asal ngomong tanpa solusi dan cenderung anarkis. Tentunya masyarakat beranggapan seperti itu bukan berarti tanpa alasan. Setidaknya hal ini seperti itulah yang kerap mereka lihat di media massa maupun mereka lihat secara langsung.

Mahasiswa yang namanya menanjak di jagat wacana publik memang mulai pada momen pasca reformasi 1998. Penumbangan rezim otoriter pada masa itu serta banyaknya mantan aktivis kampus yang masuk senayan membuat mata publik tertuju pada mahasiswa berserta dengan gerakan yang mereka lakukan. Tidak ayal ada yang berpandangan pantas atau tidak pantas.

Namun kondisi mahasiswa kini jauh berbeda dengan masa pra reformasi. Kampus sekarang jauh dari kesan idealis yang dulu menjadi ciri khas dari mahasiswa. Kini mahasiswa lebih asyik dengan dunia mereka masing-masing. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mau turun ke bawah hanya demi kepentingan rakyat. Hanya keuntungan materi yang mereka kejar sekarang. Hal ini dapat diasumsikan akibat menanjaknya biasa pendidikan tinggi pasca pemberlakuan UU BHP di negeri ini.

Yang jelas pergerakan mahasiswa kini, tidak banyak berkembang dengan apa yang dilakukan pendahulunya di masa pra reformasi tersebut. Belum ada inovasi dan trobosan baru dalam merevitalisasi pergerakan mahasiswa masa kini. Mahasiswa masih terjebak dengan motif pergerakan mahasiswa yang pernah mereka dengar atau alumni mereka lakukan. Kenangan manis sekaligus heroik yang pernah dialamai mahasiswa pada tahun 1998 yang meruapakan momentum bersejarah masif-nya pergerakan mahasiswa saat itu, kini menjadi racun bagi pola pikir mahasiswa. Seakan-akan hanya itulah cara untuk menekan pemerintah.

Kini masih sering kita lihat banyak aksi seruapa yang terjadi dimana belum tentu masih relevan. Ini adalah fenomena yang saya sebut dengan Romantically Trapped. Feneomena dimana mahasiswa terjebak dengan pola pikir yang primitif dan 'bak seperti katak di dalam tempurung', mahasiswa merasa jauh dengan permasalahan nyata yang dialami masyarakat.

Pada akhirnya mahasiswa secara umum tidak membuat trobosan sosial movement yang relevan dengan masa kini. Mereka akan terus mendengungkan kenangan heroik mahasiswa masa lalu yang membuat mahasiswa hanya berdecak kagum tanpa melakukan tindakan apa-apa dan cenderung menjadi follower.

Kenyataan ironis di lingkungan yang saya temukan banyak mahasiwa tidak tahu apa yang meraka akan capai dengan mereka turun kelan berunjuk rasa. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang tidak memiliki tujuan yang senada dengan unjuk rasa yang mereka ikuti. Karena tidak sedikit dari mereka hanya ikut-ikutan temannya. Ini yang justru menodai tujuan aksi unjuk rasa itu sendiri.

Bagi saya sebagai mahasiswa, sosok mahasiswa yang sejati bukan mereka yang melihat sisi aksi atau kontribusi sosial berupa bentuk demo saja. Yaitu mereka yang mau terus tiada henti melakukan hal untuk negeri. Tidak menjadi follower akan akan tetapi mejadi inovator. Tidak lelah menuangkan gagasan dan hasil pemikiran berdasarkan kompetensi yang dimiliki melalui lisan, tulisan, maupun, aksi nyata.

Revitalisasi dan Rekonstruksi pergerakan adalah menjadi pekerjaan rumah bagi mahasiswa. Bukan berarti demontrasi menjadi hal yang tidak perlu. Karena people power juga kadang diperlukan. Akan tetapi perancanaan yang matang dengan kajian mendalam berkenaan dengan masalah yang akan dikritisi sangat diperlukan. Mengapa? Agar demontrasi yang dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan tidak terkesa mahasiswa tidak tahu apa-apa dan asal ngomong saja.


)* Ketua Bidang KSIC HMI Komisariat FISIP Undip

Selasa, 02 Februari 2010

100 hari Pemerintahan SBY

Antara Pansus hingga Pondok Bambu

Oleh: Itsnani Mardlotillah)*


Sudah tidak terasa ternyata seratus hari pemerintah SBY jilid dua terlewati tanpa hasil yang belum begitu kentara. Keresahan itu bitu terasa di media yang tiada henti menyorot keboborokan pemerintah dengan kacamata century. Memang dalam seraturs hari ini pemrintahan SBY yang telah terpilih menjadi presiden untuk kedua kalinya mendapatkan legitimasi langsung dari rakyat tidak kunjung memperbaiki kinerjanya.

Pada dasarnya perbedaan pendapat berserta benturan-benturannya sudah menjadi konsekunsi laten bagi sebuah negara yang sedang berdemokrasi. Sepertihalnya kasus century pun di ditanggapai beragam dari segala elemen masyarakat. Bahkan 28 oktober kemarin dijadikan hari puncak penagihan rakyat atas janji SBY di kampanye-kapanyenya.

Ketika kita dihadapkan pada sebuah pemerintahan yang telah dibentuk oleh berjuta tangan negeri ini. Memang susah kita mengelak dari kedigdayaan demokrasi negeri ini. Pemilu 2009 menjadi saksi akan kepercayaan publik terhadap kepemerintahan SBY, hingga beliau diberikan kesempatan kedua kalinya untuk duduk di kursi istana. Namun kita lupa akan peran kita sebagai bangsa untuk berperan aktif dalam pemerintahan. Karena peran yang tidak kalah penting dari sebuah pelaksanaan pemerintah adalah pihak oposisi yaitu pihak yang mengawasi jalannya pemerintahan. Periode pemerintahan yang penuh dengan pencitraan dan keadaan kondusif yang semu telah banyak kita rasakan selama lebih dari 30 tahun itu hampir saja terulang lagi jika kita tidak mau menjadi bangsa yang peka dengan segala keadaan yang sedang berlangsung.

Sekedar mengulas pemerintahan SBY tahun lalu, bahwasanya kita tidak menyadari akan pencitraan tokoh SBY yang begitu terus menerus digalakan. Hal itu tercermin dari segala kebijakan pemerintahan SBY yang banyak berkutat pada kebijakan yang populis semata. Kita tidak menyadari itu karena kita belum sadar sebagai bangsa yang berdemokrasi. Pemerintahan yang sudah berlalu hanya dihiasi oleh kebijakan yang berumur pendek dan belum ada arah yang tegas.

Contoh singkat adalah bentuan langsung tunai yang ternyata hanya memberikan kesenangan sesaat bagi 'si kecil'. Seperti anak yang dikasih permen ketika ia menagis. Setelah permennya habis maka dia akan merengek untuk meminta hal yang sama kembali berulang. Warga miskin yang menjadi target dari program yang banyak disorot hanya terus meninabobokan bangsa ini untuk terus dalam keterpurukan akan pemaknaan kemanusiaan. Yaitu kemauan orang untuk berfikir akan kemanfaatan diri untuk berfaedah bagi halayak. Kalau saja kita tidak segera menyadarianya maka hal yang sama akan terjadi di pemerintahan SBY yang masuk ke musim kedua.

SBY pun sebagai kepala negara bukan berarti tanpa panduan dalam menjalani masa kerja seratus harinya yang menyita perhatian halayak. Pada rapat kabinet indonesia bersatu jilid dua yang pertama telah menetapkan 49 program dan 129 aksi meliputi ekonomi, sosial, terorisme, dan infrastruktur. Tidak ada yang terlewatkan rasanya ketika gedung senayan melontarka janji itu.

Namun, agaknya program itu seakan hilang ditelan angin Century yang berhembus dalam tubuh pemerintahan sendiri. Akibatnya masyarakat tidak merasakan faedah dari ditetapkannya 49 program tersebut. Pemerintah kini sedang diperas otaknya dalam mengatasi skandal Century yang mengakibatkan banyak dana terkucur di DPR. Walau dalam 100 hari ini ternyata SBY belum kunjung menyelesaikan skandal yang meresahkan masyarakat itu.

Ada tiga yang menjadi catatan merah yang perlu digaris bawahi dalam pelaksanaan pemerintahan SBY selama 100 hari ini. Pertama adalah kasus KPK versus Polri, kedua pansus skandal bail out century, dan ketiga kamar mewah Ayin di Pondok Bambu. Keduanya berkenaan dengan permasalahan mengenani penegakan keadilan di negeri ini. Kedua kutub di tengah pekerjaan rumah pemerintah meruapakan permasalahan yang mampu menenggelamkan segala program pemerintahan yang lain. Permasalahan ini menjadi besar karena ternyata setelah dijalanankannya pemerintahan ini selama 100 hari ternyata belum mampu menyelesaikannya. Malah yang ada permasalahan ini melebar dalam pembahasannya.

Catatan merah pertama adalah mengenai KPK dan Polri yang disebut-sebut sebagai kasus penutup bagi skandal Bank Century masih menyisakan tanda tanya besar siapakah yang menimbulkan permasalahan ini dan apa sebenarnya hubungan Polri dan KPK dalam pemberantasan korupsi. Mengapa kedua penegak hukum di negeri harus di hadapkan pada konflik yang seharusnya tidak perlu. Permasalahan ini merupakan permasalahan besar karena melibatkan tiga penegak hukum di negeri ini yaitu Polri, Kejaksaan, dan KPK sendiri sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di negeri ini.

Fenomena Cicak versus buaya hanyalah refleksi dari bobroknya sistem penegakan hukum negeri ini. Literatur hukum tidak ubahnya permen karet yang dapat dipleintir, di lenturkan, di perpanjang, hingga main petik sana petik sini, tidak ada substansi yang kita harapkan. Kerja sama yang baik sesungguhnya dapat diselenggarakan ketika kepentingan politik tidak ikut serta di dalamnnya. Sebuah permasalahan hukum menjadi runyam dan memburam kebenarannya karena masing-masing kelompok saling mencari-cari kelemahan lawan sehingga yang ada pembahasan menjadi melebar.

Catatan merah kedua adalah masalah Pansus pencari fakta skandal century yang dibentuk sendiri oleh presiden beranggotakan para legislator negeri ini di panggung senayan memiliki hutang yang harus dibayar berupa tuntasnya permasalahan ini. Akan tetapi yang terjadi ternyata arus pembahansan skandal ini di meja pansus, tidak ubahnya ajang parpol satu dengan lain, tokoh satu dengan yang lain saling mengangkat masing-masing egonya dan menjadi ajang pencitraan politk atau bahkan penjatuhan yang sudah tidak jelas arah dan tujuannya. Tentunya ini merupakan permasalahan yang menjadi tanggung jawab presiden sebagai penetap kebijakan tertinggi negeri yang menganut sistem presidensil ini. Bukan malah menutup kebenaran di atas pendustaan publik. Mau tidak mau ini juga menyangkut dana rakyat yang tidak sedikit yaitu senilai 6,7 triliyun.

Simpang siur permasalahan ini menjadi lebih runyam ketika pansus itu dibentuk. Tim yang dibentuk unutk mencari fakta dari skandal yang sedang berlangsung ternyata tidak menyelesaikan tugasnya selam masa seratus hari ini. Anggota pansus kini rasanya tidak paham dengan tugas yang mereka emban. Mereka bertindak selayaknya hakim yang siap menhakimi saksi yang dihadirkan di meja pansus. Pertanyaan mereka pun sangat kentara bahwa tidak seluruhnya anggota pansus memahami keadaan yang sebenarnya terjadi di dalamnya. Bahkan kadang tiap gelaran pansus yang kini sering kita lihat di layar kaca tidak mengasilkan teranganya jalan penyelesaian permasalahan ini. Hanya tontonan politik yang tidak sehat yang ditampilkan pansus di gedung senayan. Hal ini tentunya bukan pendidikan poltik yang baik masyarakat.

Penyelesaian permasalahan skandal century dirasa sangat perlu karena ini menyangkut hak nasabah yang dipreteli sendiri oleh BI sebagai pemvonis kucuran bail out century. Perlu dikarenakan century telah banyak memakan energi banyak bagi bangsa ini, yang seharusnya dapat dimuarakan bagi pembangunan bansa ini menjadi lebih baik.

Kutub pembahasan skandal bail out century agaknya pernah dicoba diredam dengan catatan merah ketiga yang ditorehkan dengan dibentuknya komisi pemberantasn mafia hukum yang dibentuk oleh presiden sendiri. Ditemukannya kamar artalita di Lapas Pondok Bambu sempat pula menjadi kutub altternatif setelah publik mulai lelah melihat dagelan politik yang selalu disajikan oleh para politikus amatiran di meja pansus century DPR RI. Ironisnya momen tersebut muncul ketika skandal century sedang dalam babak yang cukup panas. Semoga tidak ada upaya penutupan kasus yang nantinya akan menyulitkan dalam penangannannya ke depan.

Arthalita atau yang akrab kini dengan sebutan Ayin memang tidak hentinya membuat sensasi sejak sebelum hingga saat ia menjadi tahannan percobaan di lapas. Praktis tidak ada kesan pengap apalagi sesak di penjara bintang lima Ayin. Kamar luas dengan fasilitas standar hotel berbintang memang membuat mata kita rerbelalak. Kesan penjara yang seram dengan penghuni yang penuh sesak seakan sirna. Hati kita pun semakin tersentak ketika ruangan yang kini menjadi kamar pribadi Ayin ternyata bekas ruang kerja petugas lapas yang sengaja disulap menjadi sel pribadi Ayin di Pondok Bambu.

Kita tentunya ingat dengan kejadian mbah minah dan kakaonya. Hanya karena barang yang apabila dijual tidak lebih dari tiga ribu rupiah itu, bu minah diseret ke meja hijau. Sedang penyeretan pencuri kelas kakap di negeri ini ke meja hijau susahnya minta ampun. Ini mengindikasikan bahwa bangsa ini masih jalan di tempat untuk masalah penegakan hukum di negeri ini. Sistem tebang pilih dalam pemberantasan para pencuri kelas kakap negeri ini harus di hapuskan. Tentunya kita menginginkan adanya perinstiwa bu minah jiliddua dan ayin jilid dua.

Melihat kenyataan tersebut agaknya timbul pertanyaan apakah keadilan benar ada di negeri ini? Kita sudah begitu gerah dengan perilaku pemerintahan kini. Banyak uang rakyat dihanburkan hanya sekedar untuk merenovasi rumah dinas, mobil dinas, bahkan baru-baru ini presiden menginginkan pembelian pesawat kepresidennan. Namun, agaknya hanya segelintir orang yang tahu prilaku bermewah-mewah para pejaban negeri ini juga ikut memiliki dampak sistemik bagi jalannya roda perekonomian negeri ini. Baik secara makro maupu mikro seperti yang didalihkan sebagai pembenaran bail out century.

Permasalahan yang belum tuntas pun masih banyak menumpuk. Ironisnya semua oknum yang terlibat di dalam ada di sekitar lingkungan pemerintahan SBY. Bahkan tidak ayal mereka menjadi orang istimewa presiden. Semoga fenomena ambil keuntungan bagi sekelompok orang, serta politik keturunan tidak lagi terlaksana di negeri ini.

Tentunya kita tidak begitu saja melupakan kasus lapindo yang kini dampaknya masih dirasakan masyarakat di sekitar daerah semburan. Semburan lumpur panas masih menjadi permasalahan yang panas dan rentan gesekan. Namun, permasalahnn ini seakan hilang di telan bumi. Permasalahan ini seakan tertutup atau bahkan sengaja ditutup dengan sedikit permainan dan manuver kepentingan politis sehingga permasalahan ini semakin memburam. Praktis belum ada titik temu antara pihak lapindo, masyarakat, dan bakrie group sebagai pemegang saham terbesar di dalamnnya.

Melihat catatan merah di atas dapat di katakan bahwasanya pemerintahan SBY jilid dua gagal di seratus hari pemerintahannya. Namun, tidak menjadi bijak ketika kita menghakimi suatu pemerintahan yang masih memiliki masa hingga tahun 2014 hanya dengan seratus hari pemerintahannya. Karena yang menjadi kegagalan dari pemerintahan SBY masa ini adalah untuk kedua kalinya pemerintahannya tidak memberikan rasa optimis di masa pembuka pemerintahannya. Karena kerja pemrintahan kini tidak mau keluar jalur dari segita bemuda yang berkutub di Pansus Skandal Century, KPK dan Polri dan Penjara bintang lima milik Ayin di Rutan Pondok Bambu. Sebagai pemerintahan yang langsung mendapatkan kepercayaan bangsa ini, kondisi ini sangatlah ironis,

)* Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Publik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Diponegoro

--> Dipublikasikan di Harian Sore WAWASAN tanggal, 2 Februari 2010

Minggu, 04 Oktober 2009

Sajak - Fragmen

Fragmen I


Ketika hari nurani tertutup

Ketika senja berganti, tidak pernah diri terpartri pada suatu tujuan yang banyak didambakan setiap insan

Sewaktu diri ini merapuh,

Tak ada sutu tiang duniawi yang bisa aku gapai

Diri kian merapuh lunglai tak penuh gairah

Jika ada daya ini menggapai langit nan biru

Kan ku buat istana megah di sana

Bagi peraduan sanak saudaraku

Ketika pertanyaan itu tidak berhenti mengucur dari rongga mulutnya

Tak pernah ku renungi arti kerja dan keras

Dari ini kian melunglai tak tau mana yang akan digapai

Hanya suara-suara gaib membayangiku

Tak pernah, mengapa hati ini berbicara

Katup keduniaan telah memberangus kebeningan telaga nurani

Kesejukan kini telah hilang untuk selama yang tak terprediksi

Namun, ternyata ada suatu telaga di sana

Yang tetap memberikan kesejukanbagi setiap insan yang kian menghampa

Ketika hati ini mulai terbungkam

Bagaimana diri ini bisa terus berdiri dan mengatakan bahwa diri ini adalah manusia

Jikalau ada daya tangan ini untuk

Merengkuh katup hati ini yang semakin terus menhujam

Ketika hati dan nurani ini menyatu

Semakin jelas apa yang harus aku berikan pada mereka

Namun, jikalau semua hanya berakhir pada

Kerangka kemaksiatan, terhujamlah diri ini pada suatu sel bergerigi, tertutup, tak ada celah bagi insan ini untuk sekedar mencari kesejukan di dunia luar.


Fragmen II


Saat keadilan telah kabur dilihat mata

Sewaktu engkau mulai bergeming melihatnya

Ia tidak pantas memperdulikannya

Jikalau pagi ini hari baru bagiku, mengapa ia tak kunjung berikan aku cahaya keilahian...

Saat keadilan menjadi semu

Tak ada lagi yang peduli

Tak ada lagi yang peduli

Tak juga dia, mereka, kamu, aku...

Jika berani adanya kebebasan itu

Mengapa diri ini selalu penat terjerat kejenuhan duniawai

Kerang di samudra masih bangga dengan kekuatan cangkangnya

Namun hati insan tak mungkin dapat jadi kebanggaan bagi insan sebagai manusia

Manusia fatamorgana

Ia sedang mendambakan suatu kebenaran di tengah padang ilalang yang gersang

Jika ada setitik awan di sana

Mengapa tak kunjung ia turunkan demi kesejukan di setiap helai tubuh ini

Kuning menguning saat diri ini ada di atas bumi segera aku melangkah dengan tangan pendekku ini

Namun dalam hidup selalu ada irama yang menyelaraskan

Tapi rahasia tetaplah sebagai rahasia

Ada kidung yang selalu gadis itu dedangkan

Polos seputih kertas yang baru di cetak

Sejuk tanpa ada ambisi kebinatangan

Kian jelas siapakah diriku saat ini

Jika aku bertanya padanya

Anggukan manis selalu kucoba merangkainya

Namun, mengapa hanya kebuntuan semata yang kadang di dapatnya

Tak seorang peduli dengan keadaaan ini

Tak seorangpun menambatkan perhatiannya pada diri ini

Hari ini

Buku-buku kebohongan itu masih teronggok di sana

Jika dari ini bukan pujangga mengapa kubiarkan

Pena ini terus menunjukan kebolehannya dalam pertautan gelaran putih kehidupan

Penuh dengan ambisi, namun mengapa mata ini selalu semu dalam mendambanya

Tujuan hidup ini hanyalah sebuah fatamorgana

Dengan diri yang kian jelas merengkung diri ini

Keluar dari sel kehidupan yang kian menghitam


Fragmen III


Kini jiwa kian terjerat dalam alunan lembut musik syaitan

Telah banyak jiwa yang telah terperdaya olehnya

Sujud ilahi pun tak kunjung memberikan hasil berupa bersihnya hati dan kalbu ini

T’lah kucoba ku gerakan penaku searah dengan detak jantungku

T’lah kucoba semua arah tangan ini kepada adanya sebuah tujuan

Sepi belakang duka, selalu membelenggu

Kini cahaya ilahi samar-samar di pelupuk mataku

Bergejolak seakan mencoba membangunkan dalam tidurku yang panjang

Walau usahanya begitu kuat menyapa pintu nafsu baja, tetap sulit ditembusnya

Saat terang terbecik dalam kekelaman hati ini, tak pernah terlintas pada diri mengapa hati semakin lama semakin membeku

Ada sebuah pisau tajam sedang dipegang penyihir jahat disana

Seakan mengajakku kembali pada jurang kesunyian dan kenistaan dalam sebuah fragmen kehidupan

Ada malaikat yang masih kulihat terus mendendangkan lantunan sajak indahnya

Mulutnya mencoba memberikan pengertian tentang arti sebuah kehidupan dan keberpendirian

Namun, apalah artinya sehingga dan ketika hati ini sudah tidak pernah menerima suguhan yang terus ia berikan kepadaku

Ketika penaku mulai bergejolak mencari hasrat yang kian hari kian mencari

Tujuan keberadaan yang ada disamping di diri ini

Gejolak itu amat besar lebih besar dari sebelumnya

Seakan ia tak pernah lelah memperdayaku dalam bingkai dunia ini

Saat-saat kebohongan dan kemunafikan terus meraja dalam hidup ini, kapanlah cahaya kehidupan ini akan menembus pada lembah belantara kehidupan yang kian dihiasai oleh sihir iblis yang kejam

Hipnotis kotor, atau suci sedang ia berikan padaku

Tak dapat memilih memilah jikalu andai diri ini ada di tengahnya

Mesin itu selalu memberikan kebohongan-kebohongan yang nista

Kebohongan yang tidak pernah ingin aku dengar

Lalu, manakah tempat seharusnya aku berpijak dalam dunia ini

Keinginan jikalu semua itu suci di depanku

Akan terus aku berjuang

Seakan tak akan pernah peduli hijab-hijab dalam diri ini

Kebebasan apa ini?! mengapa semua tak pernah aku temukan

Pada akhirnya kuncup bunga bakung itu terus merekah di tengah gersangnya padang pasir nan kering

Indah atau nistanya tak pernah ia pedulikan

Karena itulah tujuan mengapa ia diciptakan di dunia ini

Minggu, 22 Februari 2009

Politik

Lempar Uang Ala Kandidat

Oleh: Itsnani Mardlotillah)*


Tentunya kita tidak asing dengan tradisi melempar uang yang telah dilakukan oleh warga tradisional jawa. Setiap seseorang akan melaksanakan suatu hajat, maka dilaksanakanlah tradisi tersebut dengan dalih mengharap akan perolehan kebaikan di dunia ini. Uang disebarkan berupa kepingan uang yang dicampur dengan beras yang telah dilumuri air kunyit. Agaknya tradisi ini ternyata banyak diberlakukan oleh beberapa politisi kita namun dalam bentuk lain.tentunya dengan jumlah uang yang lebih besar dan massa yang lebih banyak pula. Bukan untuk pengahrapan atsa kebaikan naun akan tercapinya tujuan yang diinginkan.

Mungkin ilustrasi di atas kurang lebih dapat sedikit menjelaskan kondisi politisi kita saat ini. Apalagi iklim pepolitikan yang kian memanas saat ini dapat mengindikasikan banyaknya tradisi politik nasional seperti politik uang, kampanye gelap hingga pelanggaran etika perpolitikan yang lainnya. Sungguh normatif memang jika kita berpendapat bahwa hal tersebut merusak keadaan dan masyarakat secara luas. Namun tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Perlu finishing lebih mendasar lagi sehingga gejala ini tidak segera berlanjut pada stadium yang lebih berat lagi.

Ironisnya ‘beberapa’ politikus bahkan masyarakat sendiri menganggap hal itu sebagai hal yang biasa dan menggapnya sebagai fenomena musiman yang datang dan pergi begitu saja, seiring dengan berlalunya ketertarikan masyarakat akan pergulatan politik nasional. Persepsi ini justru amat merugikan. Tak perlu ditanyakan mengapa karena memang adanya fenomena telah memberikan bekas luka yang amat mendalam serta sulit disembuhkan bagi negeri ini. Ditambah lagi dengan persepsi ‘kan, mereka yang menanggung dosa!’. Apa kita sebagai pihak yang melihatnya tidak merasa tergerak untuk memperbaikinya? Tidakkkah kita sebagai bangsa ikut menaggungnya?.

Berulangnya fenomena ini tentunya dapat memberikan hal yang lebih buruk lagi. Seperti anak kecil yang diajari berkata-kata oleh orang tuanya, tentunya akan memacu alam bawah sadarnya, untuk terus melakukan hal yang serupa tanpa ada klarifikasi atas pembenaran tindakannya. Suatu bangsa yang terus di-dikte dengan tekanan-tekanan politik yang tidak sehat ini, akan menorehkan luka yang permanen pada bangsa ini.

Budaya Materialistik

Bukan salah atau benar dari pihak apapun atau ada pihak yang dibenarakan atau yang disalahkan di sini. Apakah budaya atau pengaruh adat ketimuran yang melekat pada bangsa ini ataukah budaya barat yang dianggap sebagai aplikasi perilaku yang menguasai masyarakat pada era kali ini. Karena pada dasarnya suatu peradaban berangkat pada bibit yang sama yaitu ‘kekuasaan’ dan ‘kekayaan’. Tidak ada peradaban manapun yang dibangun tanpa kedua unsur tersebut.

Sungguh menjadi hal yang kurang disadari saat kita mengganggap hal tersebut sebagai hal yang sangat sepele. Mencermati serta mendalami akan fenomena di tengah masyarakat, adalah hal yang perlu dilakukan untuk menyediakan penawarnya sesegera mungkin. Sampaimanakah kita akan terus mengatakan ‘aku bosan dengan kedaa ini!’, jikalau kita berkata saja tanpa ada upaya nyata akan penyelasain masalah yang tepat ada di depan mata.

Sungguh mencengankan ketika kita mendengar bahwa adanya pernyataan ‘mahalnya kursi Senayan’. Sungguh mencengankan pula ketika kita menghadapi fakta di lapangan, atas dasar klarifikasi bebrapa orang yang pernah ‘mencalonkan’ diri. Mereka mengahbiskan dana kampanye yang tidak kurang dari dua ratus juta.

Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya materialistis masyarakat yang serta merta mengejawantahkan slogan ‘saat Uang berbicara’, panggung perpolitikan negeri tidak sebatas pada pertarungan argumen dan idealisme saja, alih-alih ternyata tidak lebih dari pertarungan modal kandiat. yang tidak dapat kita ukur dengan enam dijit angka dibelakang ‘koma’. Memang tidak dapat ada yang menghentikan pion catur politik yang dimajukan jika bukan pemain itu sendiri.

Dana kampanye salah satu kandidat yang mencapai angka hingga enam milyar cukup menjadi bukti bahwa ‘matre’-isasi dalam persuntingan politik telah menjadi hal yang ‘lumrah’. Bagaimana bisa mereka mereka rela mengorbankan harta mereka demi kursi yang hanya memberika penghasilan ‘bersih’ yang tidak cukup untuk ‘balik modal’? Intrik nakal memang berlaku disini.

Memang bukan hal yang negatif jika kita mengeluarakan uang demi pencalonan dan kekuasaan yang mau dicapai. Namun budaya ‘perkotaan’ ini telah mengarah pada peradangan masyarakat yang menuju pada kebobrokan masyarakat hingga terwujud negara menuju kerusakan permanen apabila tidak kunjung masalah ini kita atasi. Indikasi ini muncul ketika banyak praktik politik yang tidak sehat, mulai digelar sebagai genderang Pemilu 2009 di negeri ini.

Untungnya memang tidak sedikit pihak yang mulai mengusahakan untuk meminimalisasi peradangan ini. Berbagai elemen masyarakat, mahasiswa, dan pemerintah dengan kebijakannya mulai memberikan harapan atas ‘bersih’ atas terselenggaanya ‘pesta tahunan’ ini.

Regulasi dan Deregulasi

Ada fakta yang tidak pantas kita abaiakan bahwa Penetapan Undang-Undang Pemilu No 10 Tahun 2008 menjadi dasar pelaksanaan serta penyelenggaan pemilihan wakil rakyat tahun ini. Peraturan KPU No.19/2008 yang mengharuskan transparasi penyelenggaran ‘ajang perkenalan’ kandidat, walau dihadang oleh berbagai teknik manipulasi. Dengan berbagai regulasi maupun deregulasi sebagai penyeimbang sekaligus penopang yang ditetapkan, menjadi tolok ukur keseriusan pemerintah dalam menyelenggraan pesta politik di tahun kerbau ini.

Fakta tidak behenti disitu, pengaturan tersebut menempatkan posisi calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota nantinya, ditetapkan berdasarkan perolehan suara calon yang mendapatkan 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di dapil masing-masing. Dengan menggunakan suara terbanyak dengan menyampingkan nomor urut (sistem proporsional terbuka murni) seperti yang diamanatkan undang-undang, ini menjadi indikasi bahwa, kelamaan pengabdian pada dunia politik yang tergambar pada penentuan nomor urut kadidat tidak lagi menjadi tolok ukur lagi bagi terpilihnya kandidat menjadi ‘keluarga senayan’.

Namun dengan diabaikannya hukum lama dan digantinya dengan hukum yang kebih ‘demokratis’ ini telah menjelma menjadi ‘stimulus’ politis yang memacu timbulnya gejala-gejala politis baru yang lebih ganas dari sebelumnya. Persaingan dalam hal ini, dalam kancah perpolitikan negeri ini tidak lagi hanya berlangsung antar parpol, namun persaingn itu justru terlihat lebih jelas di internal parpol yaitu antar kandidat itu sendiri. Dengan tidak diikutkannya parpol dalam pemilihan calon terpilih nanti, berati tidak ada lagi alasan bagi ‘dewi fortuna’ untuk berpihak pada kandidat nomor urut peci, namun dalam hal ini kandidat dengan nomor urut sepatu dapat merasakan kemurahan ‘dewi welas asih’ ini.

Sebagai stimulus kemasyarakatan tentunya kebijakan berperan penting dalam turut mengatur kondisi sosial kemasyarakatan. Sebagai regulator sosial kebijakan sayangnya tidak mencantumkan ‘efek samping’ atas penerapan dan pelaksanaannya di tengah masyarakat. Hanyalah masyarakat yang harusnya menjadi katalisator agar kebijakan yang telah ditetapakan tidak lagi menjadi hal yang malahan kian memeberikan kesan ‘perusakan moral’.

Dengan niat yang terpuji tentunya menjadi pengiring dengan ditetapakan regulasi pemilu 2009 ini. Namun, tentunya hal lumrah pula jika dengan semankin ‘demokratisnya’ iklim pemerintahan saat ini semakin banyak pula celah yang dapat dilewati para politikus licin di negeri ini. ‘Tentunya kita tidak mau kursi kehormatan di senayan hanya dihiasi oleh para tikus pemerintah saja kan?’. Tentunya adanya deregulasi dan regulasi yang kian mengahiasi iklim remokrasi negeri ini tidak seharunnya menjadi masalah baru negeri yang sudah penuh dengan permasalahan ini. Dengan dalih ini, ‘apakah kita tetap ingin terus bergeming dengan apa yang terjadi di dunia politik negeri ini?’.

)*Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik Angkatan 2007

FISIP-Undip