Kamis, 13 November 2008

Hiburan

Ringkasan ini tidak tersedia. Harap klik di sini untuk melihat postingan.

Minggu, 02 November 2008

Pendidikan

Sikap Mahasiswa dan ‘Peradangan’ Westernisasi


Oleh: Itsnani Mardlotillah)*

Suatu alur pemikiran untuk menjadi suatu hasil perlu adanya metodologi yang jelas untuk menyelesaikan suatu masalah apapun. Sepertihalnya memecahkan suatu permasalahan dalam keadaan yang agaknya bertolakbelakang dan berbeda dalam lingkungan kampus yang dihuni oleh mahasisiwa-mahasiswa dimana mereka notabene digolongkan dalam kaum intelektual di Indonesia serta golongan yang seharusnya dipersiapkan sebagai agent of change.

Dalam perggolakan bangsa di zaman perjuangan kemerdekaan hingga saat ini peran mahasiswa telah banyak menyita perhatian halayak ramai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari tuntutan yang berhasil menumbangakan rezim orde lama hingga saat dimana mahasisiwa menuntut adanya reformasi dalam tubuh pemerintahan negara ini yang belangsung pada puncak di mana terdapat pergerakan di segala daerah yang mengaba-abai tumbangnya rezim orde baru, dan hingga kini perjuangan itu masih belum selasai dan ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua elemen bangsa ini termasuk mahasiswa.

Mahasiswa yang merupakan kaum intelektualita muda di Indonesia seharusnya dapat memberikan produk pemikiran yang inovatif dimana dapat meningkatkan kualitas masyarakat di segala bidang. Tidak hanya terpaku pada bidang sains namun permasalahan sosial mengenai ekonomi, budaya, maupun politik menjadi lahan yang banyak memeberikan banyak ruang bagi mahasisiwa untuk menuangkan ide-ide kreatifnya.

Di zaman sekarang ini mahasiswa selalu terpaku pada suatu pandangan yang sempit mengenai apa yang disebut dengan mahasiswa dan pengabdian masyarakat. Kebanyakan dari mereka, memisahkan antara internal kampus dimana mahasiswa ‘hanya’ berkutat dengan proses belajar yang bersifat akademik atau teoritikal dan dunia luar kampus yang sering disebut eksternal kampus dimana menempatkan mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat.

Ironisnya, mahasiswa dijebak pada sistem-sistem pengajaran di perguruan tinggi yang cenderung mementingkan keahlian di aspek keilmuan yang cenderung teoritikal daripada proses belajar yang ditujukan pada proses pembelajaran yang menuntut mahasisiwa untuk mengaktualisasi dirinya di tengah masyarakat dimna sering kita sebut dengan ‘praktisnya’. Hal ini menuntut mahasisiwa untuk memberatkan aspek teoritis dalam memahami ilmu yang mereka peroleh dibandingkan dengan segi-segi yang cenderung praktikal di lingkungan intelek muda indonesia tersebut. Sehingga cukup beralsan bila masyarakat melakukan ‘labelling’ pada mahasiswa sebagai kaum ‘keminter’ hal ini disebabkan adanaya suatu pandangan dimasyarakat mengenai pandangan mahasisiwa yang bersifat teoritis tanoa dikolrelasikan pada hal yang bersifat praktis.

Idealisme

Idealisme mahasiswa mahasiswa yang masih menggebu-nggebu, dipanang sulit dipertahankan di zaman yang penuh dengan persaingan yang semakin ketat saja. Hal-hal ini semakin diperburuk lagi oleh oknom-oknum pendidikan yang terus mendoktrinasi hal yang meeka anggap dengan ‘kenyataan’ tersebut. Doktrinasi yang kadang diterima begitu saja oleh mahasiswa tanpa menghiraukan adanya ‘kemungkinan’ yang cukup besar bila mereka berusaha untuk memperbaiki sistem yang ada sekarang ini. Namun pandangan mahasiswa mengenai kemungkinan tersebut semakin abstrak saja. Hal tersebut tidak lagi menjadi hal yang mustahil jika motivasi mereka lebih hanya menjadi suatu bingkai yang temporer menghiasi ranah pergulatan bangsa ini di segala bidang.

Apa bila kita analogikan pada adanya suatu bentuk yang lebih kongkrit bahwasanya sistem yang ada di tengah masyarakat sekarang ini sepertihalnya alat makan dan makanan, apabila sistem yang ada kita pandang kita kotor sepertihalnya alat makan yang kotor kita harus membersihkannya dahulu. Apabila kita telah melakakukan hal tersebut, tinggal kita menikmati hidangan yang ada dimana kita sebut sebagai suatu hasil yang kita harapkan. Namun, hal masalah yang ada tidak sesimpel itu, mahasiswa cenderung berhenti pada pemikiran bagaimanakah mengubaha sistem yang dianggap tidak baik dan enggan memperbaikinya dengan alasan hal tersebut tidak realistis.

Hedonisme dan Apatisme

Sebagai suatu bangsa yang telah bekomitmen dengan demokrasi dan terbuka dengan segala sumber informasi yang masuk, modernisasi menjadi hal yang wajar bagi bangsa ini. Namun, hakekat dari modernisasi yang merupakan paham yang mencarikan jalan yang lebih mudah bagi manusia untuk melaksanakan kehidupannya sehari-hari. Namun, yang menjadi masalah saat ini adalah bagaimanakah mahasisiwa menyikapi hal tersebut.

Tidak dapat dipungkiri bahwa, westernisasi yang merupakan imbas dari modernisasi yang kebarat-baratan ternyata juga berimbas pada kehidupan mahasisiwa. Gaya hidup barat seperti jalan-jalan di mall, dugem, dan sebagainya dipandang sebagi gaya hidup yang lebih menarik. Ideologi dan pemikiran barat yang cenderung individualistis menciptakan sikap mahaisiswa yang lebih apatis terhadapa kondisi sosial yang terjadi di tengah masyarakat.

Bukan hal yang baru pula menaggapi masalah yang telah saya anggap telah meradang ini. Sistem pendidikan yang hanya menekankan pada teori tinimbang praktik dianggap menjadi penyebab masalah ini selanjutnya. Bukan yang aneh pula dimana dunia telah dijajah oleh kapitalisme barat yang cenderung meleihat segala hal sebagai angka-angka. Parahnya, lagi hal tersebut diadopsi oleh mahasiswa. Materi yang kini dianggap tidak hanya oleh masyarakat tetapi juga mahasiswa sebagai hal terpenting di dunia tidak urung menyumbang berubahnya gaya hidup masyarakat ataupun mahasiswa lebih materialistik dan individualistik.

Pergerakan mahasiswa untuk perubahan bukan berati tenggelam dimakan zaman, namun yang berubah justru terhadap nilai yang terkandung dalam pergerakan tersebut. Organisasi seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan sebagainya, menjadi bukti dimana pergerakan itu masih ada. Namun permasalahan itu menjadi lebih meradang apabila kita melihat dimanakah letak pergerakan tersebut bagi masyarakat.

Yang dibutuhkan sekarang adalah kerjasama yang terpadu antar elemen masyarakat dalam menyikapi kondisi yang terlanjur terjadi termasuk mahasiswa. Sebagai agent of change mahasiswa harus dapat menetukan sikap yang dapat meredam peradangan yang ada. Bukan hanya menurutu arus yangada dalam masyarakat tanpa melihat benar ataupun salahnya. Dengan menjadi insan yang kritis dan terbuka dengan segala hal yang terjadi di masyarakat sebagai mahasiswa, merupahan tersebut tidak hanya berhenti pada kemungkinan dan angan-angan akan tetapi akan menjadi suatu kenyataan.


)* Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Publik 2007 Undip,

Anggota Administrator Muda Indonesia (AdMI)