Minggu, 22 Februari 2009

Politik

Lempar Uang Ala Kandidat

Oleh: Itsnani Mardlotillah)*


Tentunya kita tidak asing dengan tradisi melempar uang yang telah dilakukan oleh warga tradisional jawa. Setiap seseorang akan melaksanakan suatu hajat, maka dilaksanakanlah tradisi tersebut dengan dalih mengharap akan perolehan kebaikan di dunia ini. Uang disebarkan berupa kepingan uang yang dicampur dengan beras yang telah dilumuri air kunyit. Agaknya tradisi ini ternyata banyak diberlakukan oleh beberapa politisi kita namun dalam bentuk lain.tentunya dengan jumlah uang yang lebih besar dan massa yang lebih banyak pula. Bukan untuk pengahrapan atsa kebaikan naun akan tercapinya tujuan yang diinginkan.

Mungkin ilustrasi di atas kurang lebih dapat sedikit menjelaskan kondisi politisi kita saat ini. Apalagi iklim pepolitikan yang kian memanas saat ini dapat mengindikasikan banyaknya tradisi politik nasional seperti politik uang, kampanye gelap hingga pelanggaran etika perpolitikan yang lainnya. Sungguh normatif memang jika kita berpendapat bahwa hal tersebut merusak keadaan dan masyarakat secara luas. Namun tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Perlu finishing lebih mendasar lagi sehingga gejala ini tidak segera berlanjut pada stadium yang lebih berat lagi.

Ironisnya ‘beberapa’ politikus bahkan masyarakat sendiri menganggap hal itu sebagai hal yang biasa dan menggapnya sebagai fenomena musiman yang datang dan pergi begitu saja, seiring dengan berlalunya ketertarikan masyarakat akan pergulatan politik nasional. Persepsi ini justru amat merugikan. Tak perlu ditanyakan mengapa karena memang adanya fenomena telah memberikan bekas luka yang amat mendalam serta sulit disembuhkan bagi negeri ini. Ditambah lagi dengan persepsi ‘kan, mereka yang menanggung dosa!’. Apa kita sebagai pihak yang melihatnya tidak merasa tergerak untuk memperbaikinya? Tidakkkah kita sebagai bangsa ikut menaggungnya?.

Berulangnya fenomena ini tentunya dapat memberikan hal yang lebih buruk lagi. Seperti anak kecil yang diajari berkata-kata oleh orang tuanya, tentunya akan memacu alam bawah sadarnya, untuk terus melakukan hal yang serupa tanpa ada klarifikasi atas pembenaran tindakannya. Suatu bangsa yang terus di-dikte dengan tekanan-tekanan politik yang tidak sehat ini, akan menorehkan luka yang permanen pada bangsa ini.

Budaya Materialistik

Bukan salah atau benar dari pihak apapun atau ada pihak yang dibenarakan atau yang disalahkan di sini. Apakah budaya atau pengaruh adat ketimuran yang melekat pada bangsa ini ataukah budaya barat yang dianggap sebagai aplikasi perilaku yang menguasai masyarakat pada era kali ini. Karena pada dasarnya suatu peradaban berangkat pada bibit yang sama yaitu ‘kekuasaan’ dan ‘kekayaan’. Tidak ada peradaban manapun yang dibangun tanpa kedua unsur tersebut.

Sungguh menjadi hal yang kurang disadari saat kita mengganggap hal tersebut sebagai hal yang sangat sepele. Mencermati serta mendalami akan fenomena di tengah masyarakat, adalah hal yang perlu dilakukan untuk menyediakan penawarnya sesegera mungkin. Sampaimanakah kita akan terus mengatakan ‘aku bosan dengan kedaa ini!’, jikalau kita berkata saja tanpa ada upaya nyata akan penyelasain masalah yang tepat ada di depan mata.

Sungguh mencengankan ketika kita mendengar bahwa adanya pernyataan ‘mahalnya kursi Senayan’. Sungguh mencengankan pula ketika kita menghadapi fakta di lapangan, atas dasar klarifikasi bebrapa orang yang pernah ‘mencalonkan’ diri. Mereka mengahbiskan dana kampanye yang tidak kurang dari dua ratus juta.

Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya materialistis masyarakat yang serta merta mengejawantahkan slogan ‘saat Uang berbicara’, panggung perpolitikan negeri tidak sebatas pada pertarungan argumen dan idealisme saja, alih-alih ternyata tidak lebih dari pertarungan modal kandiat. yang tidak dapat kita ukur dengan enam dijit angka dibelakang ‘koma’. Memang tidak dapat ada yang menghentikan pion catur politik yang dimajukan jika bukan pemain itu sendiri.

Dana kampanye salah satu kandidat yang mencapai angka hingga enam milyar cukup menjadi bukti bahwa ‘matre’-isasi dalam persuntingan politik telah menjadi hal yang ‘lumrah’. Bagaimana bisa mereka mereka rela mengorbankan harta mereka demi kursi yang hanya memberika penghasilan ‘bersih’ yang tidak cukup untuk ‘balik modal’? Intrik nakal memang berlaku disini.

Memang bukan hal yang negatif jika kita mengeluarakan uang demi pencalonan dan kekuasaan yang mau dicapai. Namun budaya ‘perkotaan’ ini telah mengarah pada peradangan masyarakat yang menuju pada kebobrokan masyarakat hingga terwujud negara menuju kerusakan permanen apabila tidak kunjung masalah ini kita atasi. Indikasi ini muncul ketika banyak praktik politik yang tidak sehat, mulai digelar sebagai genderang Pemilu 2009 di negeri ini.

Untungnya memang tidak sedikit pihak yang mulai mengusahakan untuk meminimalisasi peradangan ini. Berbagai elemen masyarakat, mahasiswa, dan pemerintah dengan kebijakannya mulai memberikan harapan atas ‘bersih’ atas terselenggaanya ‘pesta tahunan’ ini.

Regulasi dan Deregulasi

Ada fakta yang tidak pantas kita abaiakan bahwa Penetapan Undang-Undang Pemilu No 10 Tahun 2008 menjadi dasar pelaksanaan serta penyelenggaan pemilihan wakil rakyat tahun ini. Peraturan KPU No.19/2008 yang mengharuskan transparasi penyelenggaran ‘ajang perkenalan’ kandidat, walau dihadang oleh berbagai teknik manipulasi. Dengan berbagai regulasi maupun deregulasi sebagai penyeimbang sekaligus penopang yang ditetapkan, menjadi tolok ukur keseriusan pemerintah dalam menyelenggraan pesta politik di tahun kerbau ini.

Fakta tidak behenti disitu, pengaturan tersebut menempatkan posisi calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota nantinya, ditetapkan berdasarkan perolehan suara calon yang mendapatkan 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di dapil masing-masing. Dengan menggunakan suara terbanyak dengan menyampingkan nomor urut (sistem proporsional terbuka murni) seperti yang diamanatkan undang-undang, ini menjadi indikasi bahwa, kelamaan pengabdian pada dunia politik yang tergambar pada penentuan nomor urut kadidat tidak lagi menjadi tolok ukur lagi bagi terpilihnya kandidat menjadi ‘keluarga senayan’.

Namun dengan diabaikannya hukum lama dan digantinya dengan hukum yang kebih ‘demokratis’ ini telah menjelma menjadi ‘stimulus’ politis yang memacu timbulnya gejala-gejala politis baru yang lebih ganas dari sebelumnya. Persaingan dalam hal ini, dalam kancah perpolitikan negeri ini tidak lagi hanya berlangsung antar parpol, namun persaingn itu justru terlihat lebih jelas di internal parpol yaitu antar kandidat itu sendiri. Dengan tidak diikutkannya parpol dalam pemilihan calon terpilih nanti, berati tidak ada lagi alasan bagi ‘dewi fortuna’ untuk berpihak pada kandidat nomor urut peci, namun dalam hal ini kandidat dengan nomor urut sepatu dapat merasakan kemurahan ‘dewi welas asih’ ini.

Sebagai stimulus kemasyarakatan tentunya kebijakan berperan penting dalam turut mengatur kondisi sosial kemasyarakatan. Sebagai regulator sosial kebijakan sayangnya tidak mencantumkan ‘efek samping’ atas penerapan dan pelaksanaannya di tengah masyarakat. Hanyalah masyarakat yang harusnya menjadi katalisator agar kebijakan yang telah ditetapakan tidak lagi menjadi hal yang malahan kian memeberikan kesan ‘perusakan moral’.

Dengan niat yang terpuji tentunya menjadi pengiring dengan ditetapakan regulasi pemilu 2009 ini. Namun, tentunya hal lumrah pula jika dengan semankin ‘demokratisnya’ iklim pemerintahan saat ini semakin banyak pula celah yang dapat dilewati para politikus licin di negeri ini. ‘Tentunya kita tidak mau kursi kehormatan di senayan hanya dihiasi oleh para tikus pemerintah saja kan?’. Tentunya adanya deregulasi dan regulasi yang kian mengahiasi iklim remokrasi negeri ini tidak seharunnya menjadi masalah baru negeri yang sudah penuh dengan permasalahan ini. Dengan dalih ini, ‘apakah kita tetap ingin terus bergeming dengan apa yang terjadi di dunia politik negeri ini?’.

)*Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik Angkatan 2007

FISIP-Undip


Daerah



Slawi, Permata di Pantura

Oleh: Itsnani Mardlotillah)*

Berbagi isu pembangunan yang dihembuskan oleh berbagai pihak di gedung parlemen memang tidak jarang kita dengarkan sembari kita duduk santai di depan televisi. Sebagai negara berkembang perkembangan dan pembangunan menjadi hal yang lumrah kita lihat di sekitar kita. Memang merupakan kewajiban bagi negeri ini untuk membuat bangsa ini lebih baik lagi di masa mendatang.

Sebagian orang berpendapat bahawa adanya perubahan di negeri ini adalah hanyalah suatu euforia sesaat dan kadang ditinggalkan maupun difokuskan. Hal tersebut memang lumrah apabila kita melihat adanya keaptisan masyarakat pada proses pembangunan yang tidak kunjung memperbaiki hidup mereka. Kejenuhan dalam proses pembangunan memang dapat menjadi menuju nilai yang negatif, apabila seorang pemimpin tidak dapat menyikapinya dengan baik.

Sebagai salah satu negeri yang tidak lepas dari regulasi yang mengikat berdirinya bumi pertiwi ini, tentunya kita ketahui bersama tentang adanya regulasi yang mengikat adanya pakem kewajiban negeri untuk menyelenggarakan proses tersebut. Dari sudut pandang ini pun kita menjadi tersudut secara terpaksa ataupun tidak untuk melaksanakan pemabanguan.

Pembangunan yang dikatakan disini bukanlah hanya bersifat fisik semata. Aspek non wujud seperti etos kerja, kualitas SDM menjadi hal yang tidak dapat dihindari dari segala jenis jalan pembangunan. Pembangunan yang kian kompleks ini, merupakan imbas dari perjalanan dari suatu negara yang sedang mencari jati diri. Memang bukanlah hal yang mudah untuk menyeimbangkan antar dua aspek yang amat krusial tersebut. Tidak ada yang harus didahulukan atau bahkan ditinggalkan memang. Semua pihak, regulasi, masyarakt, maupun keadaan menuntut untuk melakukan hal tersebut secara proporsional dan professional.

Sebuah Permata

Jauh dari hiruk pikuk kota metropolis yang syarat dengan semangat hedonisme dan konsumerisme, ternyata masih ada daerah yang masih bangga dengan sebutan kota yang tekah di sematkan kepadanya dengan masih menjaga kearifan kedaerahnya. Sedikit fanatis memang saya menyatakan hal ini, namun bukan berarti tanpa sebab. Dengan geliat perekonomian dan proses sosial yang semakin kompleks, sebagai sebuah kota kecil di dekat jalur pantura, Slawi pantas mendapatkan acungan jempol atas kerja kerasnya dalam meningkatkan keinginannya untuk tetap pantas mendaptkan perdikat kota.

Sebagai Ibukota Kabupaten Tegal, mengantarkan Slawi sebagai salah satu kota yang termarginalisasi dari pergaulan perkotaan tetangganya Kota Tegal yang notabene mendahului pertumbuhannya sebagi kota yang berhak menyandang kota metropolis saat ini. menjadi sauatu keirian sendiri sebgai suatu kota yang amat berdekatan denagnnya. Namun, Slawi sebagai kota prematur mulai menunjukan eksistensinya dengan mencoba merias wajah kotanya.

Di bawah kepemimpinan bapak Agus Riyanto, S.Sos yang sudah mendapat kepercayaaan rakyat selama kurang lebih dua periode pemerintahan, pembangunan infrastruktur kota kabupaten ini mulai menunjukan baunya. Pembanguna di sana-sini dalam rangka meninbulakan denyut perekonomian rakyat yang lebih menggebu memang agak terpecah dengan pembangunan yang harus pula dilaukan di beberapa kecamatan dalam cakupan kabupaten tegal.

Stimulus ekonomi daerah seperti pembanguan infrastruktur kota, gencar dilakukan oleh pemerintah. Pemabanguan bundaran di depan masjid agung Slawi, stasiun, jalan lingkar, dan lain-lain memang diperuntukan untuk denyut perekonomian rakyat dan kota Slawi dan Kabupaten Tegal secara Umum yang lebih baik dan lebih berprospek. Menjadi perencanaan yang cukup pelik memang memandang masyarakt yang dipandang belum siap dalam menerima perkembangan yang ada, dan cenderung agak apatis melihatnya.

Potensi yang Prospektif

Kota Slawi secara khusus dan Kabuipaten bukan berarti tidak memiliki kekuatan lokal yang amat prospektif. wilayah yang terdiri dari daratan seluas 87.879 ha dan luas laut 121,50 km2. Wilayah daratan kabupaten ini memiliki kemiringan bervariasi, mulai dari datar hingga sangat curam, memiliki potensi alam yang meliputi pesisir hingga pegunungan. Daerah wisata seperti Purwahamaba Indah, Pemandian Air Panas Guci, dan lain-lain adalah sebagian contoh keindahan alam Kabupaten Tegal yang dapat dinikmati.

Teritori yang terkenal dengan budaya moci-nya (minum teh di wadah tanah liat) dan produksi tehnya yang sudah merambah pasar nasional maupun internasional, memiliki letak yang strategi. Popularitas bahasa komunikasi yang akarab disebut dengan bahasa ngapak (walupun masyarakat Tegal kebanyakan tidak suka dengan sebutan itu) ini, turut menyumbang perkembangan daerah ini yang kian materialistis.

Dibangunnya berbagi pusat perbelanjaan baik mall, maupun swalayan hingga integritas dari modern hingga tradisional menjadi suplemen tersenderi atas perkembangan daerah kekuasaan kota slawi ini. Bukan salah daerah ini apabila pembanguan ternyata cenderung jalan di tempat. Kondisi masyarakat yang amat prismatik amat peka dengan kondisi nasional maupun global di segala aspek termasuk ekonomi.

Mungkin alasan pembelaan pendapat saya di atas telah banyak menjelaskannya. Namun, sebagai salah satu warga wilayah ini, memiliki kritik yang langsung ingin saya sampaikan kepada pemerintah kabupaten. Jangan sampai pembangunan kegitan perkonomian modern mengesampingkan suasana proporsioanl pembagian pengasilanm daerah yang jangan hanya disakan hanya pada satu teritori yang kadang dapat menyebabkan adanya kesenjangan yang amat jelas. Perlu adanya pertimangan untuk membentuk model pembanguna yang lebih strategis dan dapat dinikmati seluruh elemen masyarakat secara luas di Kabupaten Tegal.

Paesan

Bukan menjadi alasan yang amat primodialis ketika memang wajah kota terbukti meningkatkan predikat kota sebagai suatu wilayah kumpulan sosialisasi modern dan eksistensi kota dalam berbagi aspek kehidupan kerakyatan termaksuk ekonomi, budaya, sosial, atau bahkan politik. Menjadi suatu hal lagis pula apabila suatu pemerintahan perkonsentrasi dalam berbagai progam pembangunan duniawi atas dasar eksistensi perkotaan apabila melihat wajah negeri ini dan dunia ini yang telah berubah menuju kebudayaan yang materialistis.

Apabila kita tilik keberhasilan dari Solo yang telah menjelma menjadi kota yang bertitel “the spirit of Java”. Menjadi suatu panutan pula bagi bebagi kota di Jawa Tengah yang salut dengan perjalanan kota ini yang notabene berangkat dari darah miskin di darah selatan pulau jawa.

Menjadi suatu kesuksesan tersendiri bagi seorang pemimpin kota ini dalam membangun kotanya atau daerahnya melalui stimulus ekonomi berupa pembangunan infrastruktur kota yang menarik investor lokal maupun asing. Langkah ini pun dikuti kabupaten sragen yang berkali-kali mendapatkan bayak penghargaan sebagi daerah yang pro investasi dari pemerintah pusat. Pujian-pujian tidak pernah lekang rasanya mengalir kepadanya.

Menjadi suatu impian suatu daerah ketika suatu masyarakat daerah mulai menjalankan kegiatannya dan berharap akan keadaan yang lebih baik dalam perjalanan kehidupannya sebagai simbol pergaulan kedaerahan. Kekuatan lokal yang kuat juag berperan kuat dalam kelangsungan program pembanguna du daerah ini. hal yang kadang sering dikesampingkan oleh pemda yang hanya memenuhi hasrat pencapaian trend kota masa kini yang amat individualis dan materialis.

Kebudayaan dan akar nilai-nilai leluhur dapat menjadi alat bagi daerah sesungguhnya untuk bersaing dengan ‘rival-rivalnya’. Dalam hal ini memang agaknya sebagian besar dari daerah di negeri ini masih bertanya-tanya masalah jati diri mereka sebagai daerah yang mandiri termasuk yang dirasa di Kota Slawi-Kabupaten Tegal.

Menjadi hal yang amat gawat apabila hal tersebut kita biarkan tanpa tindakan tersebut, karena fitrah keberagaman yang telah diberikan-Nya pada negeri ini kita sia-siakan. Permata-permata negeri ini yang sudah berwarna menjadi hal yang tidak pantas dihilangkan, namun kita mempunyai tugas penting untuk mengasahnya lebih baiklagi supaya kilaunya tidak hanya dinikati dendiri namun seluruh seantero negeri di dunia ini.

)*Mahasiswa Administarsi Publik Angkatan 2007

FISIP-Universitas Dippnegoro