Minggu, 19 Oktober 2008

Ekonomi Dunia

Resesi Amerika
Senin, 21 Januari 2008
Negara sekuat Amerika Serikat ternyata mengandung beberapa kelemahan juga. Tak disangka, Ekonomi AS setahun terakhir mengalami perlambatan hingga memicu terjadinya resesi. Pemicunya adalah krisis kredit bermasalah sektor perumahan (subprime mortgage). Sejumlah perusahaan besar seperti Merrill Lynch dan Citigroup merugi besar-besaran. Data ekonomi AS, baik tenaga kerja maupun inflasi, juga cukup mengkhawatirkan.

Laporan bank sentral AS, Federal Reserve atau The Fed, yang dirilis Kamis (17/1) lalu menyebutkan, sektor ritel, perumahan, dan otomotif AS menunjukkan tanda-tanda melemah. Libur panjang selama akhir 2007 tak mampu mendongkrak belanja konsumen.

Dalam laporan yang populer disebut dengan Beige Book itu, 12 distrik Federal Reserve menyatakan bahwa aktivitas ekonomi meningkat secara sedang selama periode survei (pertengahan November hingga Desember 2007). Dari seluruh distrik, menurut laporan The Fed, tujuh di antaranya melaporkan kenaikan aktivitas tipis, dua melaporkan kondisi beragam, dan aktivitas di tiga distrik dilaporkan melambat.

Sejumlah anggota Kongres AS dan pejabat mendesak agar ada pemotongan pajak sedikitnya 300 dolar AS per wajib pajak. Namun, sejumlah kalangan berupaya agar pemotongan pajak hingga 800 dolar AS per orang, atau 1.600 dolar AS per rumah tangga. Langkah itu menyertai kemudahan pajak bagi pebisnis.

Dengan semakin meningkatnya kekhawatiran akan bertambah cepatnya laju resesi, Presiden AS George Walker Bush dan sejumlah anggota parlemen dari Partai Republik, tampaknya, berkeinginan membuat sebuah konsesi dengan Partai Demokrat. Rencana konsensus muncul di tengah menyeruaknya kabar terbaru krisis ekonomi dan kecenderungan penurunan di Bursa Saham Wall Street. Hal itu mendorong Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke dan sejumlah pejabat lain untuk membicarakan perlunya bertindak lebih cepat.

Presiden Bush sendiri mendesak Kongres segera menyetujui rencana stimulus ekonomi senilai 140 miliar dolar AS (sekitar Rp 1.330 triliun). Permohonan Bush itu disampaikan di tengah meningkatnya konsensus tentang perlunya mengundangkan rencana mencegah resesi lewat sebuah program stimulus yang dilandasi pemotongan pajak dan kemudahan-kemudahan bisnis. Bush mengatakan, nilai paket tersebut harus cukup fantastis untuk membuat adanya perbedaan di dalam sebuah perekonomian yang sebesar dan sedinamis perekonomian AS.

Lantas bagaimana dampaknya terhadap Indonesia? Meski indikator makroekonomi membaik pada 2007, pemerintah dan BI memilih bersikap waspada merespons paket ekonomi AS. Deputi Gubernur BI Hartadi A Sarwono mengatakan, ancaman resesi global masih ada. Ancaman kenaikan harga-harga komoditas masih cukup besar, terutama dari harga minyak. Resesi di Amerika jelas memiliki dampak pada negara lainnya. Uni Eropa bahkan sudah mulai bersiap-siap menghadapi krisis ekonomi pasca resesi Amerika itu. Indonesia, tentu harus lebih waspada.

Jangankan krisis global, satu produk impor saja yang tidak normal, negeri ini kelimpungan. Tengoklah ketika harga kedelai impor dari AS dinaikkan, para pedagang tempe menjerit dan melakukan aksi demo. Ironis tentu saja. Di negeri yang petaninya banyak, lahannya luas, tanahnya subur, tak bisa dihasilkan kedelai, dan negeri ini berketergantungan kepada negara lain. Amerika pula namanya. Tentu saja, resesi Amerika akan memiliki dampak yang signifikan bagi bangsa ini karena ketergantungan yang masih belum juga mampu diatasi. Mentalitas ketergantungan, malas dan tidak kreatif menjadikan bangsa ini terus ‘’dijajah’’ imperialisme modern. Negeri besar resesi, negeri ini ikut terkena dampak. Namun negeri lain makmur, kita juga tetap krisis. Sampai kapan?

Sumber: http://www.riaupos.com/

Tidak ada komentar: